Pages

Rabu, 11 Desember 2013

Makalah Perdagangan Islam



MAKALAH
PERDAGANGAN
Diajukan Untuk Memenuhi Salahsatu Tugas Mata Kuliah
Tafsir Hadits
Disusun oleh:
Cepi Rizal Fahmi                  1211802024
Manajemen  A/IV
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung
2013
Kata Pengantar
Dengan memanjatkan puji serta syukur ke hadirat Allah yang maha kuasa, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada saya sehingga dapat menyelesaikan makalah dengan judul “PERDAGANGAN”
Saya menyadari bahwa di dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian,  saya telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang saya miliki sehingga dapat selesai dengan baik, dan oleh karena itu dengan rendah hati, saya berharap kepada pembaca yang budiman untuk memberikan masukan, saran dan kiritik yang sifatnya membangun guna penyempurnaan makalah ini.

Akhirnya saya berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
                                                            



Penulis







BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Allah SWT. Telah menjadikan manusia masing-masing saling membutuhkan satu sama lain,  supaya mereka tolong menolong, tukar menukar keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup masing-masing, salah satunya  adalah dengan jual beli, baik dalam urusan kepentingan sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Dengan cara demikian kehidupan masyarakat menjadi teratur dan subur, pertalian yang satu dengan yang lain menjadi teguh. Akan tetapi, sifat loba atau tamak tetap ada pada manusia, suka mementingkan diri sendiri supaya hak masing-masing jangan sampai tersia-sia, dan juga menjadi kemaslahatan umum agar pertukaran dapat berjalan dengan lancar dan teratur. Oleh sebab itu agama memberi peraturan yang sebaik-baiknya.
Kehidupan dalam bermasyarakat memang penting, apalagi manusia tidak dapat hidup sendiri. Oleh sebab itu manusia saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, atau disebut juga dengan bermuamalah. Memang telah kita ketahui, manusia adalah makhluk sosial yang tidak lepas dari kegiatan muamalah. Namun tidak semua masyarakat mengetahui secara kaffah akan peraturan-peraturan dalam bermuamalah, misalnya dalam kasus jual beli.
Islam melihat konsep jual beli itu sebagai suatu alat untuk menjadikan manusia itu semakin dewasa dalam berpola pikir dan melakukan berbagai aktivitas, termasuk aktivitas ekonomi. Pasar sebagai tempat aktivitas jual beli harus dijadikan sebagai tempat pelatihan yang tepat bagi manusia sebagai khalifah di muka bumi. Maka sebenarnya jual beli dalam Islam merupakan wadah untuk memproduksi khalifah-khalifah yang tangguh di muka bumi.
Tidak sedikit kaum muslimin yang mengabaikan dalam mempelajari muamalat, melalaikan aspek ini sehingga tidak mempedulikan lagi, apakah barang itu halal atau haram menurut syariat Islam.
Jual beli (al-bai’) adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Kata lain dari al-ba’i adalah asy-syira’al-mubadah, danat-tijaarah. Allah membolehkan jual beli bagi hamba-Nya selama tidak melalaikan dari perkara yang lebih penting dan bermanfaat. Seperti melalaikannya dari ibadah yang wajib atau membuat madharat terhadap kewajiban lainnya. Jika asal dari jual beli adalah disyariatkan, sesungguhnya diantara bentuk jual ada juga yang diharamkan dan ada juga yang diperselisihkan hukumnya.

B.        Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, dapat dirumuskan beberapa masalah, adapun rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah:
1.      Apa pengertian dan dasar hukum jual beli?
2.      Apa saja rukun dan syarat jul beli?
3.      Apa saja hal-hal yang terlarang dalam jual beli?
4.      Hikmah apa sajakah yang  dapat diambil dari kegiatan jual beli?
C.     Tujuan penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui dan memahami arti, dasar hukumnya, rukunnya jual beli
2.      Dapat memaknai sekaligus mampu menerapkan jual beli yang islami/sah dalam kehidupan sehari-hari
3.      Dapat menjauhkan diri dari hal-hal yang menyangkut jual beli yang tidak sah.
4.      Mengetaui hikmah jual beli





BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Perdagangan atau jual-beli dalam bahasa arab sering disebut dengan kata al-bai', al-tijarah, atau al-mubadalah. Sebagaimana firman Allah SWT :
يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُور
Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi (QS. Fathir : 29)
Secara bahasa, jual-beli atau al-bai'u berarti muqabalatu syai'im bi syai'in (مقابلة شيء بشيء). Artinya adalah menukar sesuatu dengan sesuatu. [1]
Al-Imam An-Nawawi di dalam Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab menyebutkan jual-beli adalah (مقابلة مال بمال تمليكا) yang berarti : tukar menukar harta dengan harta secara kepemilikan.[2]
Ibnu Qudamah di dalam Al-Mughni menyebutkan bahwa jual-beli sebagai (مبادلة المال بالمال تمليكا وتملكا), yang artinya pertukaran harta dengan harta dengan kepemilikan dan penguasaan.[3]
Sehingga bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan jual-beli adalah : "menukar barang dengan barang atau menukar barang dengan uang, yaitu dengan jalan melepaskan hak kepemilikan dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan".
B. Dasar Masyru'iyah
Jual-beli adalah aktifitas ekonomi yang hukumnya boleh berdasarkan kitabullah dan sunnah rasul-Nya serta ijma' dari seluruh umat Islam. Firman Allah SWT :
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan telah mengharamkan riba. (QS. Al-Baqarah : 275)


Sedangkan dari sunnah nabawiyah, Rasulullah SAW bersabda :
وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-, عَنْ رَسُولِ اَللَّهِ  قَالَ:  إِذَا تَبَايَعَ اَلرَّجُلَانِ, فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا وَكَانَا جَمِيعاً, أَوْ يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا اَلْآخَرَ, فَإِنْ خَيَّرَ أَحَدُهُمَا اَلآخَرَ فَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ فَقَدَ وَجَبَ اَلْبَيْعُ, وَإِنْ تَفَرَّقَا بَعْدَ أَنْ تَبَايَعَا, وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا اَلْبَيْعَ فَقَدْ وَجَبَ اَلْبَيْعُ - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullh saw bersabda: “Apabila dua orang melakukan jual-beli, maka masing-masing orang mempunyai hak khiyar (memilih antara membatalkan atau meneruskan jual-beli) selama mereka belum berpisah dan masih bersama; atau selama salah seorang di antara keduanya tidak menemukan khiyar kepada yang lainnya. Jika salah seorang menentukan khiyar pada yang lain, lalu mereka berjual-beli atas dasar itu, maka jadilah jual-beli itu”. (HR. Muttafaq alaih)
عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ  أَنَّ اَلنَّبِيَّ  سُئِلَ: أَيُّ اَلْكَسْبِ أَطْيَبُ؟ قَالَ:  عَمَلُ اَلرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ - رَوَاهُ اَلْبَزَّارُ وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ
Dari Rifa’ah Ibnu Rafi’ r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya: Pekerjaan apakah yang paling baik?. Beliau bersabda: “Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual-beli yang bersih”. (HR Al-Bazzar.)[4]
وَعَنْ أَبِي مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ  نَهَى عَنْ ثَمَنِ اَلْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ اَلْكَاهِنِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abu Mas’ud al-Anshary r.a. bahwa Rasulullah saw. melarang mengambil uang penjualan anjing, uang pelacuran dan upah pertenungan. (HR. Muttafaq Alaih)
C. Hukum Jual Beli
Secara asalnya, jua-beli itu merupakan hal yang hukumnya mubah atau dibolehkan. Sebagaimana ungkapan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah : dasarnya hukum jual-beli itu seluruhnya adalah mubah, yaitu apabila dengan keridhaan dari kedua-belah pihak. Kecuali apabila jual-beli itu dilarang oleh Rasulullah SAW. Atau yang maknanya termasuk yang dilarang beliau SAW. [5]
D. Rukun Jual-beli
Sebuah transaksi jual-beli membutuhkan adanya rukun sebagai penegaknya. Dimana tanpa adanya rukun, maka jual-beli itu menjadi tidak sah hukumnya.
Rukunnya ada tiga perkara, yaitu:
·         Adanya pelaku yaitu penjual dan pembeli yang memenuhi syarat
·         Adanya akad / transaksi 
·         Adanya barang / jasa yang diperjual-belikan.
Kita bahas satu persatu masing-masing rukun jual-beli untuk lebih dapat mendapatkan gambaran yang jelas.
1. Adanya Penjual dan Pembeli
Penjual dan pembeli yang memenuhi syarat adalah mereka yang telah memenuhi ahliyah untuk boleh melakukan transaksi muamalah. Dan ahliyah itu berupa keadan pelaku yang harus berakal dan baligh.
Dengan rukun ini maka jual-beli tidak memenuhi rukunnya bila dilakukan oleh penjual atau pembeli yang gila atau tidak waras. Demikian juga bila salah satu dari mereka termasuk orang yang kurang akalnya (idiot).
Demikian juga jual-beli yang dilakukan oleh anak kecil yang belum baligh tidak sah, kecuali bila yang diperjual-belikan hanyalah benda-benda yang nilainya sangat kecil. Namun bila seizin atau sepengetahuan orang tuanya atau orang dewasa, jual-beli yang dilakukan oleh anak kecil hukumnya sah.
Sebagaimana dibolehkan jual-beli dengan bantuan anak kecil sebagai utusan, tapi bukan sebagai penentu jual-beli. Misalnya, seorang ayah meminta anaknya untuk membelikan suatu benda di sebuah toko, jual-beli itu sah karena pada dasarnya yang menjadi pembeli adalah ayahnya. Sedangkan posisi anak saat itu hanyalah utusan atau suruhan saja.
2. Adanya Akad
Penjual dan pembeli melakukan akad kesepakatan untuk bertukar dalam jual-beli. Akad itu seperti : Aku jual barang ini kepada anda dengan harga Rp. 10.000", lalu pembeli menjawab,"Aku terima".
Sebagian ulama mengatakan bahwa akad itu harus dengan lafadz yang diucapkan. Kecuali bila barang yang diperjual-belikan termasuk barang yang rendah nilainya.
Namun ulama lain membolehkan akad jual-beli dengan sistemmu'athaah, (معاطاه) yaitu kesepakatan antara penjual dan pembeli untuk bertransaksi tanpa mengucapkan lafadz.
3. Adanya Barang / Jasa Yang Diperjual-belikan
Rukun yang ketiga adalah adanya barang atau jasa yang diperjual-belikan. Para ulama menetapkan bahwa barang yang diperjual-belikan itu harus memenuhi syarat tertentu agar boleh dilakukan akad. Agar jual-beli menjadi sah secara syariah, maka barang yang diperjual-belikan harus memenuhi beberapa syarat, yaitu :
a. Suci
Benda yang diperjualbelikan harus benda yang suci dana arti bukan benda najis atau mengandung najis. Di antara benda najis yang disepakati para ulama antara lain bangkai, darah, daging babi, khamar, nanah, kotoran manusia, kotoran hewan[6] dan lainnya.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اَللَّهِ يَقُولُ عَامَ اَلْفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ:  إِنَّ اَللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ اَلْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ
Dari Jabir Ibnu Abdullah r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda di Mekkah pada tahun penaklukan kota itu: ”Sesungguhnya Allah melarang jual-beli minuman keras, bangkai, babi, dan berhala”. (HR. Muttafaq Alaih)
Bank Darah
Darah yang dibutuhkan oleh pasien di rumah sakit tidak boleh didapat dari jual-beli. Karena itu Palang Merah Indonesia (PMI) telah menegaskan bahwa bank darah yang mereka miliki bukan didapat dari membeli. Lembaga itu pun tidak melakukan penjualan darah untuk pasien.
Kalau ada pembayaran, bukan termasuk kategori memperjual-belikan darah, melainkan biaya untuk memproses pengumpulan darah dari para donor, penyimpanan, pengemasan dan juga tentunya biaya-biaya lain yang dibutuhkan. Namun secara akad, tidak terjadi jual-beli darah, karena hukumnya haram.
Kotoran Ternak
Demikian juga dengan kotoran ternak yang oleh umumnya ulama dikatakan najis, hukumnya tidak boleh diperjual-belikan. Padahal kotoran itu sangat berguna bagi para petani untuk menyuburkan tanah mereka. Untuk itu mereka tidak melakukan jual-beli kotoran ternak. Kotoran itu hanya diberikan saja bukan dengan akad jual-beli.
Pihak petani hanya menanggung biaya penampungan kotoran, pengumpulan, pembersihan, pengangkutannya. Biaya untuk semua itu bukan harga kotoran hewan, sehingga tidak termasuk jual-beli.
b. Punya Manfaat
Yang dimaksud adalah barang harus punya manfaat secara umum dan layak. Dan juga sebaliknya, barang itu tidak memberikan madharat atau sesuatu yang membahayakan atau merugikan manusia.
Oleh karena itu para ulama As-Syafi'i menolak jual-beli hewan yang membahayakan dan tidak memberi manfaat, seperti kalajengking, ular atau semut. Demikian juga dengan singa, srigala, macan, burung gagak.
Mereka juga mengharamkan benda-benda yang disebut denganalatul-lahwi (perangkat yang melalaikan) yang memalingkan orang dari zikrullah, seperti alat musik. Dengan syarat bila setelah dirusak tidak bisa memberikan manfaat apapun, maka jual-beli alat musik itu batil. Karena alat musik itu termasuk kategori benda yang tidak bermanfaat dalam pandangan mereka. Dan tidak ada yang memanfatkan alat musik kecuali ahli maksiat. Seperti tambur, seruling, rebab dan lainnya.[7]
c. Dimiliki Oleh Penjualnya
Tidak sah berjual-beli dengan selain pemilik langsung suatu benda, kecuali orang tersebut menjadi wali (al-wilayah) atauwakil.
Yang dimaksud menjadi wali (al-wilayah) adalah bila benda itu dimiliki oleh seorang anak kecil, baik yatim atau bukan, maka walinya berhak untuk melakukan transaksi atas benda milik anak itu.
Sedangkan yang dimaksud dengan wakil adalah seseorang yang mendapat mandat dari pemilik barang untuk menjualkannya kepada pihak lain.
Dalam prakteknya, makelar bisa termasuk kelompok ini. Demikian juga pemilik toko yang menjual barang secara konsinyasi, dimana barang yang ada di tokonya bukan miliknya, maka posisinya adalah sebagai wakil dari pemilik barang.
Adapun transaksi dengan penjual yang bukan wali atau wakil, maka transaksi itu batil, karena pada hakikatnya dia bukan pemilik barang yang berhak untuk menjual barang itu. Dalilnya adalah sebagai berikut :
Tidak sah sebuah talak itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk mentalak. Tidak sah sebuah pembebasan budak itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk membebaskan. Tidak sah sebuah penjualan itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk menjual. Tidak sah sebuah penunaian nadzar itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak berkewajiban atasnya. (HR. Tirmizi - Hadits hasan)
Walau pun banyak yang mengkritik bahwa periwayaytan hadits ini lemah, namun Imam An-Nawawi mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan lewat banyak jalur sehingga derajatnya naik dari hasan menjadi hadits shahih.
Dalam pendapat qadimnya, Al-Imam Asy-syafi'i membolehkan jual-beli yang dilakukan oleh bukan pemiliknya, tetapi hukumnya mauquf. Karena akan dikembalikan kepada persetujuan pemilik aslinya. Misalnya, sebuah akad jual-beli dilakukan oleh bukan pemilik asli, seperti wali atau wakil, kemudian pemilik asli barang itu ternyata tidak setuju, maka jual-beli itu menjadi batal dengan sendirinya. Tapi bila setuju, maka jual-beli itu sudah dianggap sah.
Dalilnya adalah hadits berikut ini :
'Urwah ra berkata,"Rasulullah SAW memberi aku uang 1 Dinar untuk membeli untuk beliau seekor kambing. Namun aku belikan untuknya 2 ekor kambing. Lalu salah satunya aku jual dengan harga 1 Dinar. Lalu aku menghadap Rasulullah SAW dengan seekor kambing dan uang 1 Dinar sambil aku ceritakan kisahku. Beliau pun bersabda,"Semoga Allah memberkatimu dalam perjanjianmu". (HR. Tirmizi dengan sanad yang shahih).
d. Bisa Diserahkan
Menjual unta yang hilang termasuk akad yang tidak sah, karena tidak jelas apakah unta masih bisa ditemukan atau tidak.
Demikian juga tidak sah menjual burung-burung yang terbang di alam bebas yang tidak bisa diserahkan, baik secara pisik maupun secara hukum.
Demikian juga ikan-ikan yang berenang bebas di laut, tidak sah diperjual-belikan, kecuali setelah ditangkap atau bisa dipastikan penyerahannya.
Para ahli fiqih di masa lalu mengatakan bahwa tidak sah menjual setengah bagian dari pedang, karena tidak bisa diserahkan kecuali dengan jalan merusak pedang itu.
e. Harus  Diketahui Keadaannya
Barang yang tidak diketahui keadaanya, tidak sah untuk diperjual-belikan, kecuali setelah kedua belah pihak mengetahuinya. Baik dari segi kuantitasnya maupun dari segi kualitasnya.
Dari segi kualitasnya, barang itu harus dilihat -meski hanya sample- oleh penjual dan pembeli sebelum akad jual-beli dilakukan. Agar tidak membeli kucing dalam karung.
Dari segi kuantitas, barang itu harus bisa dtetapkan ukurannya. Baik beratnya, atau panjangnya, atau volumenya atau pun ukuran-ukuran lainnya yang dikenal di masanya.
Dalam jual-beli rumah, disyaratkan agar pembeli melihat dulu kondisi rumah itu baik dari dalam maupun dari luar. Demikian pula dengan kendaraan bermotor, disyaratkan untuk dilakukan peninjauan, baik berupa pengujian atau jaminan kesamaan dengan spesifikasi yang diberikan.
Di masa modern dan dunia industri, umumnya barang yang dijual sudah dikemas dan disegel sejak dari pabrik. Tujuannya antara lain agar terjamin barang itu tidak rusak dan dijamin keasliannya. Cara ini tidak menghalangi terpenuhinya syarat-syarat jual-beli. Sehingga untuk mengetahui keadaan suatu produk yang seperti ini bisa dipenuhi dengan beberapa tehnik, misalnya :
Dengan membuat daftar spesifikasi barang secara :
§  Tertera di brosur atau kemasan tentang data-data produk secara rinci. Seperti ukuran, berat, fasilitas, daya, konsumsi listrik dan lainnya.
§  Dengan membuka bungkus contoh barang yang bisa dilakukan demo atasnya, seperti umumnya sample barang.
§  Garansi yang memastikan pembeli terpuaskan bila mengalami masalah.
E.      Terlarangnya Jual Beli Karena Cacatnya Rukun Dan Syarat
a)      Jual Beli Terlarang Karena Sebab Pelaku (Ahliah)
Para Ulama sepakat bahwa jual beli dikategorikan sahih apabila dilakukan oleh orang yang baligh, berakal, dapat memilih, dan mampu ber-tasharruf secara bebas dan baik. Mereka yang dipandang tidak sah jual belinya adalah sebagai berikut:
1.      Jual-beli orang gila
Ulama fiqh sepakat bahwa jual beli orang gila tidak sah, begitu pula sejenisnya, sebagai contoh, jual beli orang mabuk, dll.
2.      Jual-beli anak kecil
Ulama fiqh sepakat bahwasanya jual beli yang dilakukan oleh anak kecil dipandang tidak sah, kecuali dalam hal atau perkara yang sepele.
3.      Jual-beli orang buta
Jual beli orang buta dianggap shahih  menurut jumhur ulama jika barang yang dibelinya diterangkan sifat-sifatnya.
4.      Jual beli terpaksa
Menurut ulama Hanafiyah, hukum jual beli terpaksa, keabsahannya ditangguhkan sampai hilang rasa terpaksa.
5.      Jual-beli fudhul, jual-beli milik orang lain tanpa seizin pemiliknya
6.      Jual-beli orang terhalang
Yang dimaksud terhalang disini adalah terhalang karena kebodohan, bangkrut atau sakit.
7.      Jual-beli malja,
Yaitu jual-beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan dzalim.
b)      Jual Beli Terlarang Karena Sebab Maqud ‘Alaih (Obyek Transaksi)
Secara umum, ma'qud 'alaih adalah harta yang dijadikan alat pertukaran oleh orang yang akad, yang biasa disebut barang jualan dan harga. Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli dianggap sah apabila ma'qud 'alaih adalah barang yang tetap atau bermanfaat, berbentuk, dapat diserahkan, dapat dilihat oleh orang yang akad, tidak bersangkutan dengan milik orang lain, dan tidak ada larangan syara'.
Selain itu, ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian Ulama, tetapi diperselisihkan oleh sebagian yang lain.
1.   Jual-beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada.
Jumhur Ulama sepakat bahwa jual beli barang yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada adalah tidak sah
2.   Jual-beli barang yang tidak dapat diserahkan.
Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan, seperti burung yang ada di udara atau ikan yang ada di air tanpa berdasarkan ketetapan syara'.
3.   Jual-beli barang yang tidak jelas (majhul).
Menurut ulama Hanafiyah, jual beli seperti ini adalah fasid, sedangkan menurut jumhur ulama adalah batal sebab akan mendatangkan pertentangan.
4.   Jual-beli buah-buahan atau tumbuhan yang tidak jelas.
Apabila belum terdapat buah, disepakati tidak sah. Bila telah ada buah tetapi belum matang, akadnya fasid menurut Ulama Hanafiyah dan batal menurut jumhur Ulama, adapun juka buah-buahan atau tumbuhan itu telah matang maka akadnya sah.
Keseluruhan jual beli di atas masuk kedalam transaksi gharar.
c)      Jual Beli Gharar
Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah, al-khathr (pertaruhan).  Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul al-’aqibah). Sedangkan menurut Syaikh As-Sa’di, al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidak jelasan). Perihal ini masuk dalam kategori perjudian. Sehingga, dari penjelasan ini, dapat diambil pengertian, yang dimaksud jual beli gharar adalah, semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan; pertaruhan, atau perjudian.Jual beli gharar atau yang mengandung ketidakpastian dilarang dalam Islam.
Macam-macam jual beli gharar :
1. Bai’ Ma’dum
          Yaitu jual beli barang yang tidak ada atau belum ada (misal : menjual       anak kambing yang masih dalam kandungan). Pelarangan Ba’i Ma’dum ini sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan “Janganlah kamu menjual sesuatu yang tidak ada padamu” (H.R. Khamsah dari Hakim Bin Hizam). Namun Bay’ Ma’dum bisa dilakukan bila barang yang dijual dapat diukur dengan pasti dan dan penyerahannya bisa dipastikan sesuai ‘urf.
Contohnya:
§  Menjual anak onta yang masih dalam kandungan
§  Menjual buah yang masih di pohon (belum matang)
§  Menjual susu hewan yang masih di teteknya (Bisa kelihatan besar, ternyata isinya lemak, susunya cair), disini ada spekulasi, tidak jelas
§  Jual beli barang yang tidak/belum ada

2. Bai Ma’juz at-Taslim
Yaitu jual beli yang sulit dalam penyerahan barangnya (misal : menjual motor yang hilang atau hp yang hilang yang masih dalam pencarian).
Contohnya:
§  Jual beli motor yang hilang dan masih dalam pencarian
§  Jual beli HP yang masih dipinjam orang (teman) yang kabur
§  Jual-beli tanah properti yang belum jelas statusnya (pembebasannya)
§  Menjual burung piaraan (seperti merpati) yang mungkin kembali ke sarangnya.
3. Ba’i Majhul
Yaitu jual beli barang yang tidak diketahui kualitas, jeni, merek atau kuantitasnya (misal: menjual radio yang tidak dijelakan mereknya). Bila tingkat majhulnya kecil sehingga tidak menyebabkan pertentangan, maka jual beli sah, karena keidak tahuan tidak menghalangi penyerahan dan penerimaan barang (misal : jual beli buah berdasarkan kiloan tetapi secara tumpukan).
Contohnya:
§  Yaitu jual beli barang yang tidak diketahui kualitas, jenis, merek atau kuantitasnya.
§  Seperti jual beli murabahah HP Nokia yang tidak dijelaskan tipenya.
§  Jual beli radio yang tidak dijelaskan merknya.
§  Jual beli ini dilarang karena mengandung gharar (tidak jelas, tidak pasti yang mana produk yang mau dibeli).
4. Ba’i Juzaf (Taksir)
Yaitu  jual beli barang yang biasa ditakar, ditimbang dan dihitung, tetapi dilakukan secara taksir/ perkiraan (misal : menjual setumpuk pakaian tanpa mengetahui jumlahnya).
Contohnya:
§  Menjual setumpuk makanan tanpa mengetahui takarannya secara pasti
§  Menjual setumpuk buah tanpa mengetahui beratnya
§  Menjual setumpuk ikan tanpa mengetahuai berapa kg
§  Menjual setumpuk pakaian tanpa mengetahui jumlahnya
5. Ba’i Muhaqalah
Yaitu menjual tanam-tanaman yang masih di ladang atau di sawah (Ijon).
 6. Ba’i Mukhadarah
Yaitu menjual buah-buahan yang belum pantas di panen.
7. Ba’i Mulamasah
Yaitu jual beli yang terjadi dengan cara hanya menyentuh suatu barang secara acak (misal: seseorang yang menyentuh sebuah produk dengan tangannya di waktu malam, maka orang yang telah menyentuh kain berarti telah membeli kain tersebut).
Contohnya:
Jual beli secara sentuh menyentuh. Misalkan seseorang menyentuh sebuah produk dengan tangannya di waktu malam atau siang hari, maka orang yang menyentuh berarti telah membeli kain tersebut
Jual beli ini dilarang jarena mengandung gharar. Tidak jelas barang mana yang disentuh
8. Ba’i Munabazah
Yaitu jual beli secara lempar-melempar, sehingga barang tidak jelas dan tidak pasti.
Contohnya:
·         Jual beli secara lempar-melempar, sehingga objek barang tidak jelas dan tidak pasti, apakah barang A, B, C atau lainnya
·         Seperti seorang berkata, “Lemparkan padaku apa yang ada padamu, nanti kulemparkan pula padamu apa yang ada padaku”. Setelah terjadi saling melempar barang, maka terjadilah jual-beli
·         Jual beli ini juga dilarang karena mengandung gharar
10. Ba’i Muzabanah (Barter Buah-buahan)
Yaitu jual beli yang menggunakan makanan yang masih belum jelas sebagai alat pembayarnya (misal : buah-buahan saat masih di atas pohon yang masih basah / belum bisa dimakan dijual sebagai pembayar untuk memperoleh kurma untuk dimakan).
Contohnya:
·         Buah-buahan ketika masih di atas pohon yang masih basah (belum bisa dimakan) dijual sebagai alat pembayar untuk memperoleh kurma dan anggur kering (bisa dimakan). Penyerahannya di masa depan (future).
·         Jual beli ini dilarang karena buah yang di atas pohon belum bisa dipastikan kualitas dan kuantitasnya. Jadi hanya berdasarkan perkiraan/taksiran. Karena itu Rasul saw melarang.
·         Karena dikhawatirkan salah satu pihak ada yang dirugikan. Jual beli ini juga mengandung gharar.
11. Bai’ Hashah
Yaitu jual beli dimana pembeli menggunakan kerikil dalam jual beli (kerikil dilemparkan kepada berbagai macam barang penjual, dan kerikil yang mengenai suatu barang akan dibeli dan ketika itu terjadilah jual beli).
12. Hablul Habalah
·         Seseorang menjual seekor anak onta yang masih berada dalam perut induknya.
·         Jual beli semacam ini dilarang, karena mengandung gharar (ketidakpastian)
13. Madhamin dan Malaqih
·         Madhamin ialah menjual sperma hewan, di mana si Penjual membawa hewan pejantan kepada hewan betina untuk dikawinkan. Anak hewan dari hasil perkawinan itu menjadi milik pembeli.
·         Malaqih, Menjual janin hewan yang masih dalam kandungan


d)     Jual Beli Terlarang Karena Objeknya Haram Dan Tidak Baik
Berikut adalah beberapa contoh jual beli yang dilarang karena haram dan tidak thoyyib-nya objek jual beli.
·         Jual Beli Salib (simbol agama kristen)
·         Jual Beli Patung Yesus atau fotonya
·         Jual beli wanita dan anak bayi
·         Jual beli / Bisnis CD porno, majalah porno,dll
·         Jual Beli Narkoba dan segala barang lainnnya
·         Membeli barang yang keuntungannya untuk musuh Islam


BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
1.      Jual beli merupakan salah satu ruang lingkup muamalah yang bersifat adabiyah yaitu “ijab-qabul”, taradli, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, tidak ada penipuan, pemalsuan, penimbunan dan lain sebagainya yang bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta dalam kehidupan manusia.
2.      Sesuatu hal yang sering kita lupakan menjadi hal yang dapat merusaknilai amalan yang kita lakukan jual beli, jadi hal upaya tentang penulisan ini dilakukan untuk memberikan informasi tentang pengertian, dasar hukum jual beli, rukun dan syarat jual beli, hal yang terlarang dalam jual beli. Agar terciptanya lingkungan ekonomi perdagangan islam yang sehat dalam kehidupan bermasyarakat. Untukitu penulis menyimpulkan bahwa jual beli islam adalah suatu kegiatanyang bersifat kepentingan umum, juga menjadi tolak ukur untukmensejahterakan kehidupan rakyat terutama dalam bidangperekonomian. Karena manusia ini adalah makhluk sosial, jadi diperlukan kegiatan jual beli ini juga seluk beluk mengenai jual beli islam ini sudahdapat dilihat dalam bab-bab makalah ini. 
   
B.     Saran
Penulisan makalah ini menunjukkan hal yang berkaitan dengan apa-apa saja mengenai hukum-hukum, tata cara pelaksanaan yang terkaittentang hubungan jual beli yang baik antara penjual juga pembeli,sehingga dapat mendorong munculnya penulisan makalah yang sejenis dalam pemberi informasi yang lebih baik lagi tentang hal-hal yangberkaitan dengan hubungan jual beli.



DAFTAR   PUSTAKA
Prof.Dr.Abdullah al Mushlih,Prof Dr.Shalah ash-Shawi, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta : Darul Haq, 2004.
Prof. DR. Rachmat Syafei, MA,  Fiqih Muamalah,  Bandung: Pustaka Setia 2001.
H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2010
Departemen Agama RI, Al-hidayah Al-Qur’an Tafsir Perkata Tajwid Kode Angka, Banten, Kalim, 2012
http://masudkhan2000.blogspot.com/2013_01_01_archive.html

2 komentar: